DPD GMNI Jawa Timur Sayangkan Konsolidasi Nasional di Blitar Dijadikan Ajang Manuver Politik Sepihak

Ketua DPD GMNI Jawa Timur, Amir Mahfut saat membuka Kaderisasi Tingkat Dasar di Lamongan (foto: ist)

SUARABHINNEKA, SURABAYA – DPD Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jawa Timur memberikan sorotan tajam terkait Konsolidasi Nasional GMNI dan Ziarah Kebangsaan kubu Ketua Umum DPP Arjuna yang diselenggarakan di Kota Blitar 21-22 Juni 2025.

Ketua DPD GMNI Jawa Timur, Amir Mahfut mengatakan, Blitar, merupakan kota dikenal sebagai tanah kelahiran Proklamator RI, Ir. Soekarno.

Ironisnya, kota bersejarah tersebut, bukan untuk kebangkitan ideologis atau semangat marhaenisme yang progresif, tetapi malah untuk memperpanjang perselisihan yang terjadi dalam tubuh organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Bahkan, acara tersebut, lebih sebagai bentuk ritual pencitraan semata, yang menutupi konflik internal organisasi.

“Apa yang diklaim sebagai upaya persatuan, pada dasarnya adalah reproduksi kekuasaan dari satu kelompok yang ingin melanggengkan dominasi secara sepihak,” kata Amir, Jum’at (27/6/2025).

Amir mengungkapkan, konflik internal GMNI memang telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir, terutama sejak adanya dualisme kepemimpinan antara kubu DPP GMNI dengan Ketua Umum Imanuel Cahyadi yang terpilih dalam forum resmi kongres di gedung cristian center dan Arjuna yang terpilih melalui aklamasi, tanpa forum kongres di loby Hotel Amaris, Ambon.

DPP GMNI dengan Ketua Umum Imanuel Cahyadi menghendaki persatuan, hal itu dibuktikan adanya keputusan dalam Rapat Pimpinan Nasional (RAPIMNAS) yang ditetapkan di Ancol Jakarta, pada tahun 2022.

“Dalam kongres persatuan tersebut, kubu Imanuel menghendaki kebersamaan dan menjadikan GMNI satu gerakan,” ungkapnya.

Namun, DPP GMNI dibawah kepemimpinan Arjuna, pada akhirnya melaksanakan RAPIMNAS yang dilaksanakan di Yogyakarta, menghasilkan keputusan penolakan terhadap “Kongres Persatuan”.

Dari catatan peristiwa sejarah ini, sudah sangat terang dan jelas bahwa barisan DPP GMNI kepemimpinan Imanuel Cahyadi, sangat gandrung akan persatuan.

“Ini sangat terang bahwa GMNI dibangun bukan untuk jadi panggung politik yang haus akan kekuasaan. GMNI adalah organisasi mahasiswa yang berfokus pada pembentukan, penanaman ide dan karakter kader yang revolusioner,” tegas Amir.

Lebih jauh, Amir mempertanyakan apa yang akhir-akhir ini dilakukan oleh faksi DPP kepemimpinan Arjuna, yang seolah-olah mau muncul menjadi sosok pahlawan yang menggaungkan perihal persatuan.

“Bahkan mereka berusaha untuk membelokan fakta dan mencoba mengeser alur. Ini akan menjadi catatan sejarah, siapa yang di front persatuan sejati dan siapa yang tidak pro persatuan. Mereka berusaha menempatkan posisi mereka sebagai giantor akan persatuan, seakan-akan semua problematika hari ini harus dibereskan oleh kelembagaan di bawah pimpinan Ketua Umum Imanuel Cahyadi,” terangnya.

Sementara itu, langkah-langkah yang dilakukan malah menimbulkan problematik yang begitu terlihat, dikarenakan konsensus persatuan itu sendiri tanpa membertimbangkan dari pada AD/ART organisasi, hal itu bisa dilihat dari seruan akan persatuan yang tidak jelas konsep dan gagasannya, seruan tersebut tidak memberikan ruang dan jawaban dari pada persoalan yang terjadi di badan GMNI itu sendiri.

Dalam kegiatan di Blitar, kelompok yang mengklaim “Konsolidasi Nasional” hanya melibatkan faksi tertentu tanpa melalui mekanisme organisasi yang baik berdasarkan AD/ART organisasi.

Amir menuturkan, pembentukan Forum Nasional Komunikasi Persatuan dalam acara tersebut justru memperjelas kecenderungan politisasi organisasi. Tidak ada transparansi, dialog antar faksi, ataupun pendekatan musyawarah dalam pembentukan forum tersebut.

Ziarah ke makam Bung Karno yang dijadikan momen simbolik acara, turut menjadi sorotan. Amir menilai bahwa aktivitas itu telah kehilangan esensi ideologisnya.

“Bung Karno bukan hanya simbol nasionalisme, tetapi juga simbol keberanian berpikir dan bertindak. Ziarah tanpa kesadaran ideologis adalah seremoni kosong,” tuturnya.

Amir mencium adanya indikasi manuver politik pribadi dalam kegiatan tersebut. Dalam selebaran isu yang beredar, ada nama calon yang isunya sedang mengincar posisi Sekretaris Jenderal DPP GMNI yang akan datang.

Hal ini memperkuat dugaan bahwa kegiatan tersebut dimanfaatkan sebagai ajang pencitraan dan konsolidasi kekuasaan sepihak.

Lebih dari itu, sudah terbukti adanya konflik internal pada saat pelaksanaan kegiatan, yang itu ditunjukan kepada personal dari yang isunya akan mencalonkan sebagai Sekjend DPP GMNI itu sendiri, pada akhirnya ada isu yang menyebutkan dia melakukan aktivitas yang tidak etik kepada beberapa cabang yang hadir di Blitar.

DPD GMNI Jawa Timur menilai bahwa langkah menuju persatuan seharusnya dimulai melalui jalur konstitusional, yakni Kongres Luar Biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 20 AD/ART GMNI.

Amir berharap dapat dilakukan melalui rekonsiliasi secara demokratis dan legitimate.

“Persatuan tidak bisa dibentuk di atas kebohongan dan penyimpangan konstitusi. Jalan konstitusional yang harus ditempuh adalah melalui Kongres Luar Biasa terlebih dahulu, khususnya kubu DPP GMNI Arjuna sebagaimana diatur dalam Pasal 20 AD/ART. Hanya melalui proses kongres masing-masing yang sah, keputusan tentang Kongres Persatuan dapat diambil secara demokratis dan legitimate.” tambahnya.

Pembentukan BPK Dinilai Cacat Prosedur

Amir menjelaskan, salah satu isu paling kontroversial dalam kegiatan di Blitar adalah pembentukan Badan Panitia Kongres (BPK) yang dinilai tidak sah secara kelembagaan.

DPD GMNI Jawa Timur menilai bahwa keputusan tersebut diambil secara sepihak oleh pihak yang tidak memiliki legitimasi struktural, mengingat hingga kini kubu pengurus DPP GMNI Arjuna masih ada dan hidup.

Akhir dari ritual pencitraan semata yang dilakukan oleh oknum-oknum yang mengedepankan kepentingan mereka sendiri.

Amir mengajak seluruh kader GMNI untuk kembali pada semangat dasar perjuangan organisasi, yaitu kejujuran, keberanian berpikir, dan kepatuhan terhadap konstitusi.

“Konsolidasi yang tidak melibatkan semua pihak hanyalah ilusi kebersamaan. GMNI tidak bisa dibangun di atas citra palsu, tetapi harus ditegakkan melalui prinsip, proses demokratis, dan kejujuran ideologis,” pungkasnya (az).

Show More
Back to top button