Kematian Balita Raya: Dampak Pengabaian Kesehatan Anak dan Rumitnya Prosedur Pelayanan Kesehatan di Indonesia
Ditulis oleh: Silviyana Anggraeni, Pemerhati Soal Perempuan dan Anak

Silviyana Anggraeni (foto: ist)
SUARABHINNEKA – Kisah seorang balita bernama Raya di Sukabumi yang meninggal dengan satu kilogram cacing gelang (Ascaris Lumbricoides) di dalam tubuh mungilnya adalah kabar paling menyedihkan, sekaligus menjengkelkan sepanjang tahun 2025 ini.
Saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab antar pihak yang bertanggung jawab menjadi drama yang menyebar luar di berbagai media massa dan media sosial. Kondisi orang tua yang sakit dan ODGJ dijadikan alasan kondisi kematian Balita malang tersebut.
Bahkan, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, juga baru memberikan pernyataan dan tanggapan setelah balita Raya meninggal pada 22 Juli 2025. Fakta tersebut, menjadikan bukti, kalau pemerintah kurang begitu perhatian terhadap warganya.
Melalui postingan akun media sosial Rumah Teduh Sahabat Iin kita diperlihatkan betapa Raya tidak berdaya ketika cacing gelang yang harusnya berhabitat dalam tanah keluar dari setiap rongga di tubuhnya seperti hidung, kemaluan dan anus. Entah bagaimana Raya dapat mengeluhkan sakitnya, bahkan untuk menyangga tubuhnya saja balita itu sudah tak kuasa. Begitu malang nasibnya. Siapa saja tak akan kuasa untuk melihat bahkan sekedar mendengar kisahnya.
Sebagaimana informasi yang beredar luas setalah kematian Raya. Diceritakan bahwa, Balita malang tersebut masuk Rumah Sakit Umum Daerah R Syamsudin SH Kota Sukabumi pada tanggal 13 Juli 2025 dalam keadaan sudah tidak sadarkan diri atau kritis.
Awalnya Raya di diagnosis TBC (tuberkulosis) yang ditularkan oleh ayahnya. Dalam masa observasi kejadian diluar nalar pun terjadi. Yakni keluarnya cacing-cacing gelang dari rongga-rongga tubuhnya, yang dimulai dari lubang hidung.
Fenomena aneh tapi nyata itu diabadikan melalui video dan diunggah oleh akun rumah teduh, yang kemudian menjadi viral. Namun, ironisnya, setelah kisah Raya viral, baru banyak pihak yang ingin membantu, sehingga sudah tidak mampu menyelamatkan nyawanya. Raya tak mampu menahan kesakitan itu lebih lama lagi. Raya menyerah pada kematian.
Sulitnya Raya mendapatkan akses kesehatan yang terbaik karena memiliki banyak faktor kendala, yang pertama hambatan geografis, dimana jarak rumah ke fasilitas kesehatan cukup jauh, yang kedua infrastruktur yang buruk (jalan rusak), yang ketiga keterbatasan transportasi (angkutan umum), keempat minimnya tenaga medis di daerah terpencil, yang kelima kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya kesehatan, dan yang keenam biaya mahal, serta rumitnya prosedur pelayanan kesehatan, padahal kondisi pasien sudah sangat kritis.
Dari keenam faktor kendala ini hampir semua menjadi tanggung jawab negara untuk membenahinya. Negara memiliki kewenangan dan kekuatan secara materil untuk mengubah wajah ketimpangan itu. Dimana ada sebuah wilayah yang secara geografis, infrastruktur, transportasi, tenaga medis yang memadai, tetapi di lain sisi ada wilayah yang sangat pelosok dan terbelakang.
Satu faktor kendala yang tidak kalah penting yakni soal mahalnya biaya kesehatan. Yang pasti akan sulit untuk dijangkau oleh keluarga miskin seperti Raya dan orang tuanya. Apalagi jika ada fakta memilukan dibalik terlambatnya Raya mendapat pertolongan kesehatan yaitu Raya tidak memiliki data kependudukan apapun untuk membuat BPJS.
Birokrasi yang awalnya dibuat untuk menjalankan administrasi dan pelayanan publik secara efisien, merata, dan profesional guna mencapai visi dan misi pemerintahan, serta memastikan adanya standar pelayanan yang konsisten dan perlindungan hak masyarakat. Kini justru berbalik arah menjadi sesuatu yang merepotkan dan tidak efesien. Bahkan ada meme tentang moto birokrasi saat ini, yaitu “jika bisa dibuat sulit kenapa harus dibuat mudah”.
Dari kisah Raya kita dapat mengetahui tiga fakta. Fakta pertama yaitu soal bobroknya birokrasi negara ini. Hanya karena tidak memiliki data kependudukan lantas membuat seorang balita tidak bisa mendapat BPJS untuk berobat. Padahal prioritas BPJS adalah mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Kurang apa seorang balita Raya, dia tidak hanya miskin, tapi kedua orang tuanya juga memiliki gangguan mental. Fakta kedua adalah orang miskin dan terlantar tidak lagi dipelihara oleh negara tp dipelihara oleh orang-orang yang memiliki jiwa sosial tinggi seperti pemilik akun rumah teduh. Negara ingkar pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 34 ayat (1). Negara melalui pemerintahnya gagal mencegah seorang balita mati akibat kemiskinan dan keterbelakangan.
Fakta ketiga, dalam kisah Raya kita secara langsung disuguhkan fenomena bergesernya budaya masyarakat Indonesia yang ramah dan tolong menolong menjadi masyarakat yang individualis dan abai terhadap penderitaan sesama. Masyarakat disini tidak hanya untuk tetangga tetapi juga pemerintah desa beserta perangkatnya yang sebenarnya memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan dan nasib warganya.
Kematian Raya menjadi bukti bahwa orang disekitarnya abai. Perintah Allah untuk tidak abai pada orang-orang sekitar ada pada Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 36 yang artinya “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.”.
Budaya menjadi masyarakat yang ramah dan tolong menolong adalah warisan yang harus dijaga. Agar kedepan tidak ada Raya lainnya.







